Minggu, 25 November 2012

MEMADUKAN ISLAM DAN SAINS

1. Pendekatan “Ilmuisasi Islam” oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo (Alm)
Perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Quran (menjadikan al-Quran sebagai suatu paradigma).

Latar Belakang Pemikiran Kuntowijoyo
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap  pola pikir masyarakat yang  masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang  hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting  peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk  itu dia melakukan  analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat  perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial  melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
   
Metode Pengilmuan Islam
Uraian-uraian  tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kuntowijoyo lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan  mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini,  dari al-Qur’an dapat diharapkan  suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami  realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan:
Paradigma al-Qur’an berarti  suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Adapun Islam, yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah al-Qur’an. Sehingga bisa dibilang paradigma Islam atau paradigma al-Quran. Maksudnya adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan seseorang memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.
Menurut Kuntowijoyo salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai  paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kuntowijoyo diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
   1.      Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
   2.      Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya  reorientasi  berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
   3.      Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara  dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
  4.      Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
   5.      Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi  formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum  tentang kecaman terhadap sirkulasi  kekayaan yang hanya berputar  pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan  ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang.  Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik  untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat  menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosisal.

Menurut Kuntowijoyo, jika dalam bagian konseptual kita dikenalkan dengan pelbagai ideal-type tentang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah dan amtsal kita diajak untuk mengenali arche-type tentang kondisi-kondisi universal. Maka terhadap ideal-type al-Qur’an itu digunakanlah pendekatan sintetik. Sementara untuk arche-type al-Qur’an, maka digunakanlah pendekatan analitik. Melalui pendekatan sintetik, menurut Kuntowijoyo, kita melakukan subjektivikasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual, sementara analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an. Dan dari situlah muncul paradigma al-Qur’an, atau yang lebih umum lagi, paradigma Islam.
Untuk melakukan teoritisasi atas al-Qur’an, Kuntowijoyo menggunakan metode yang disebutnya dengan strukturalisme transendental. Ini dia lakukan agar konsep-konsep al-Qur’an (idelal-type) dan kisah-kisah sejarah dan juga amtsal (arche-type) dapat diejawantahkan dalam suatu sistem pengetahuan Islam.

Metode Pengilmuan Islam.
Untuk itu dalam rangka pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menawarkan dua metode, pertama adalah integralisasi, dan yang kedua adalah objektivikasi. Maksud integralisasi adalah penyatuan ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia dengan al-Qur’an atau wahyu. Sementara yang dimaksud dengan objektivikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat bagi semua orang.
Dalam upaya integralisasi, perlu adanya pembalikan. Sumber pertama pengetahuan dan kebenaran haruslah agama, kemudian bergerak menjadi teoantroposentrisme, dediferensiasi, dan ilmu integralistik. Penjelasannya adalah, pertama, sumber pengetahuan dan kebenaran adalah dari agama, dalam hal ini adalah wahyu Tuhan, yaitu al-Qur’an. Kemudian, di dalam teoantroposentrisme, kebenaran agama digabungkan dengan kebenaran yang bersumber dari akal budi manusia. Sehingga dalam praktiknya, terjadi dediferensiasi, yaitu menyatunya agama dalam setiap aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, ataupun budaya. Selanjutnya dikenallah apa yang dinamakan dengan ilmu integralistik, ilmu yang bukan sekedar menggabungkan, tetapi juga menyatukan antara wahyu dan hasil akal budi manusia.
Kemudian objektivikasi. Ia adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama, tetapi disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain. Dalam istilah Kuntowijoyo, objektivikasi adalah penterjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif.

2. Pendekatan “Pohon Ilmu” oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Gagasan:
Agama sebagai dasar pengembangan sains.
Sains dipandang merupakan bagian dari kajian keagamaan Islam.

Sekilas Pandang tentang Pemikiran Prof. Dr. Imam Suprayogo
Agar wilayah kajian Islam  yang luas itu  bisa ditangkap  secara mudah, sehingga  gambaran dikotomik atau pemisahan antara ilmu agama dan umum, sedikit demi sedikit terkurangi maka penjelasan itu saya tempuh dengan menggunakan  sebuah metafora   berupa pohon. Akhirnya, banyak orang mengenal bahwa UIN Maliki Malang  memiliki  pohon ilmu. Lewat metafora tersebut, ternyata  berhasil memberikan penjelasan tentang ilmu dalam perspektif Islam,  bahkan kepada masyarakat awam sekalipun. Mereka menjadi tahu, termasuk terkait  tentang bagaimana sebenarnya memahami ilmu yang mencarinya adalah merupakan fardhu ain dan fardhu  kifayah. 
Dalam metafora tersebut,  yang sebenarnya gambaran itu tepat dilihat dari  persepektif kurikulum, bagian-bagian pohon tersebut digunakan untuk menjelaskan mana bagian ilmu alat, bagian pokok atau sumber ajaran Islam yang harus dipelajari oleh semua mahasiswa, dan pengembangan ilmu lainnya atau juga ilmu-ilmu modern atau disebut ilmu umum. Bagian akar dari pohon itu, digunakan untuk memberikan gambaran terhadap ilmu yang fungsinya sebagai alat, yaitu bahasa, filsafat, ilmu alam,  dan ilmu sosial. Karena sedemikian pentingnya, maka ilmu alat, seperti bahasa Arab  dan Inggris, harus dikuasai benar oleh semua mahasiswa.
Selanjutnya batang pohon digunakan untuk menggambarkan posisi al Qurán, hadits, sirah nabawiyah, tamaddun Islam.  Dahan, ranting dan daun pohon digunakan untuk menggambarkan ilmu umum yang harus dipilih dan dikaji oleh mahasiswa sebagaimana pilihannya masing-masing. Sedangkan, tanah di mana pohon itu tumbuh dan berkembang, digunakan untuk menggambarkan tentang  betapa pentingnya pembiasaan, kultur, atau budaya, yang harus ditumbuh-kembangkan secara terus menerus.
Metafora berupa pohon tersebut, fungsinya  sebenarnya hanya  sebagai alat peraga, untuk mempermudah memahami  kaitan antara berbagai jenis  ilmu pengetahuan yang harus dipelajari oleh semua  mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi Islam. Namun  rupanya, oleh sementara pimpinan perguruan tinggi agama Islam lainnya metafora berupa pohonh itu dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari itu. Kemudian mereka, membuat dalam bentuk lainnya, seperti di UIN Yogyakarta,  Prof. Amin Abdullah,   membuat  gambar jaring laba-laba, UIN Sunan  Gunung Jati Bandung dengan gambar roda,  dan lain-lain. Smua itu semangatnya sama, yaitu ingin menjelaskan keterkaitan antara ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. 

3. Pendekatan “Integrasi-Interkoneksi” oleh Prof. Dr. Amin Abdullah
Mempertemukan antara ilmu-ilmu agama islam (hadlarah al-nash) dan ilmu-ilmu umum (hadlarah al-’ilm) dengan filsafat (hadlarah al-falsafah)

Keilmuan di IAIN (sekarang UIN) dahulu lebih menekankan pada kajian secara dikotomis-atomistik. Namun setelah bergeser menjadi UIN paradigma keilmuan berubah yang dahulu bersifat dikotomik-atomistik menjadi integrasi-interkoneksi. Mengkaji pemikiran M. Amin Abdullah lebih kental dengan kajian paradigmatis-filosofisnya. Istilah integrasi diartikan sebagai pengkajian suatu bidang keilmuan dengan melihat, menyapa, dan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya. Sedangkan interkoneksi melihat kesaling-terkaitan antara berbagai disiplin keilmuan. Artinya dalam mengkaji ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fikih, kalam, ulumul qur’an dan hadist yang lebih mengedapankan teks (bayani) juga mengkaji dan mengkaitkan disiplin ilmu-ilmu lainnya seperti sosiologi, antropologi, histrori, psikologi yang lebih menekankan pola pikir empiris. Beserta pendekatan berikutnya adalah pendekatan irfani yang lebih mementingkan gnosis, dzauq atau hati. Epistemologi bayani, burhani, dan irfani merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Abid al-Jabiry. Dalam mempelajari ilmu kalam misalnya hendaknya menurut Amin harus bersentuhan dengan problem ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan universal. Dalam mengkaji teks-teks agama juga dapat menggunakan pendekatan interdisipliner. Sebagai contoh dalam mengkaji al-Qur’an tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual, akan tetapi kontekstual yaitu melalui pendekatan sosiologis & historis. Bagaimana asbab al-nuzul ayat tersebut; Bagaimana latar belakang atau konteks sosio-historisnya; dan Bagaimana pula kontekstualisasinya (pendekatan hermeneutik).
Dalam integrasi-interkoneksi tentunya tidak bisa dilepas dari dialektika variabel-variabel keilmuan, baik ilmu umum dan ilmu agama. Brand yang diusung UIN untuk menyebut dialektika ini adalah hadlarah al-nash, hadlarah al-‘ilm, dan hadlarah al-falsafah.(Lihat M.Amin Abdullah, Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-interkoneksi) Hadlarah al-nash lebih mininjau kepada teks-teks keagamaan sebagai perwujudan identitas keislaman. Sementara hadlarah al-‘ilm adalah professional dalam bidang keilmuan dan hadlarah al-falsafah adalah dialektika antara hadlarah al-nash dan hadlarah al-‘ilm sehingga memberikan kontribusi positif yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Bila dikaitkan dengan PAI maka, sudah saatnya para calon pendidik selain memiliki wawasan pengetahuan agama yang dalam sebagai basisnya, juga mampu menguasai ilmu-ilmu sosial-humaniora sebagai tantangan sekaligus problem solving dalam kehidupan masyarakat modern. Para calon pendidik seharusnya tidak hanya mampu menguasai situasi kelas atau sekolah, akan tetapi juga diharapkan mampu mengatasi problematika aktual di masyarakat seperti gender, HAM, civil society, korupsi, kolusi, nepotisme, pendidikan karakter, pendidikan multikultural, pluralism. Para pendidik hendaknya menjadi problem solver baik di lingkungan sekolah dan sosial-kemasyarakatan.
Perubahan paradigma dari dikotomik-atomistik ke integratif-interkonektif juga telah berhasil beliau lakukan. Ia mampu menyusun peraga dengan menggunakan karya binatang kecil yang disebut laba-laba (jaring laba-laba). Selain itu Pak. Amin juga berhasil menjalin kerja sama dengan IDB. Pembangunan gedung-gedung kampus yang megah dan mewah berhasil dilakukan. Pada awalnya bangunan kampus yang terlihat kuno diubah menjadi lebih modern. Ia juga telah berjasa dengan membuka fakultas baru (Ilmu Sosial-Humaniora dan Sains & teknologi) merekrut dosen dan tenaga laboran, maupun administrasi, menyusun manajemen hingga berstatus BLU, penjaminan mutu, dan lain-lain.

4. Pendekatan oleh Beberapa Tokoh
a.       Pendekatan “Sains Islam” oleh Sayyed Hossein Nasr , Ziauddin Sardar , Maurice Bucaille
Gagasan:
Perlunya etika Islam untuk mengawal Sains
Perlunya landasan epistimologi Islami untuk suatu sistem sains
b.      Pendekatan “Penafsiran (Sentuhan) Islami” oleh Mehdi Ghulsani, Bruno Guiderdoni
Gagasan:
Tidak perlu membangun Sains Islam, cukup memberikan penafsiran islami terhadap sains yang ada saat ini.
c.       Pendekatan “Islamisasi Ilmu Ismail Raji’ ” oleh Al Faruqi, Naquib Al-Attas, Harun Yahya
Gagasan:
Hendaknya ada hubungan timbal balik antara aspek realitas dan aspek kewahyuan.
d.      Pendekatan “Islamisasi Penuntut Ilmu” oleh Fazlur Rahman
Gagasan:
Penuntut ilmu harus mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai Islam.
e.       Pendekatan Sains dan Teknologi Berbasis Wahyu oleh Agus Purwanto, D.Sc. (Dosen ITS)
Gagasan:
Pengembangan Sains dan Teknologi yang ada dalam Al-qur’an dan Al-sunnah (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)

5. Implementasi “Islamisasi Ilmu” menurut Ismail Raji’ Al-Faruqi




Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar