Minggu, 25 November 2012

KILAS BALIK INTEGRASI INTERKONEKSI PROF. AMIN ABDULLAH DI UIN SUNAN KALIJAGA


Paradigma Integrasi-Interkoneksi ramai diperbincangkan di kalangan UIN Sunan Kalijaga seiring adanya proses transformasi dari IAIN menuju UIN pada tahun 2004. Transformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 01/0/SKB/2004 dan Nomor ND/B.V/I/Hk.001/058/04 Tanggal 23 Januari 2004, yang diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2004 Tanggal 21 Juni 2004. Transformasi ini bertujuan agar lembaga yang semula bernama IAIN ini berkembang menjadi center of excellent terutama dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dengan membentuk tiga tim kelompok kerja (pokja) akademik, menejemen dan administrasi umum. Ketiga tim pokja itu melakukan tugasnya masing-masing guna menghasilkan rumusan besar tentang sosok UIN Sunan Kalijaga yang “Integrasi-Interkoneksi”.

Istilah Integrasi-Interkoneksi merupakan wacana dari Prof. Amin Abdullah (pada waktu itu menjabat sebagai rektor di IAIN Sunan Kalijaga 2001-2005). Sosok ilmuan yang dikenal sebagai filosof itu begitu antusias akan gagasannya tersebut. Berbagai forum digelar untuk mendiskusikan secara intensif. Banyak kritik dari berbagai kalangan dan latar keilmuan akademisi yang datang, baik dari internal kampus ataupun yang dari luar.

Namun semua itu tidak menyurutkan semangat beliau untuk mewujudkan impiannya, mewujudkan Integrasi-Interkoneksi di dunia kampus sehingga akrab dan menjadi worldview bahkan mendalam menjadi mindset ideologi semua insan akademis khususnya dan umat manusia umumnya. Beliau yakin bahwa integrasi-interkoneksi atau lengkapnya Integrasi-Interkoneksi Ilmu Keislaman (disingkat 3IK) adalah solusi paling tepat dalam menjawab problem sosial kemanusiaan terutama yang berkaitan dengan keislaman dan keindonesiaan.

Berbekal kekayaan literatur yang sudah dijelajah dan keluasan pengalaman berdialog dalam berbagai forum, baik lokal atau internasional, Prof. Amin Abdullah merumuskan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan. 3IK adalah sintesa dari realitas historis keilmuan keislaman yang selama ini tegak kokoh berdiri bak menara gading tanpa membutuhkan dan perduli dengan keilmuan yang lain (single entity). Seorang faqih dianggap sebagai sosok yang paling otoritatif bicara Islam dibanding seorang muhaddis, muarrikh, muaddib ataupun mufassir. Begitu juga sebaliknya.

Bila kondisi ini dibiarkan maka Islam dan umat Islam akan tertinggal dan ditinggal jauh oleh pesatnya akselerasi kemajuan peradaban. Bangunan keilmuan keislaman yang menjadikan teks/nash sebagai sumber kebenaran dengan pola nalar yang deduktif Aristotelian ini memiliki kelemahan cukup mendasar, yaitu tidak akrab dengan realitas (lack of empiricism) juga lemah secara metodologis. Kelemahan ini diperparah lagi dengan tarikan interes-interes personal yang begitu kuat karena rapuhnya benteng moral yang dimiliki. Selain pola pandang yang sempit (narrow mindedness) dan myopic juga kerdilnya mentalitas keilmuan untuk menerima kebenaran dari mana saja datangnya (open minded) semakin menambah absurditas keadaan.

Berbagai kelemahan dan kekurangan yang potensial dimiliki oleh ilmu keislaman ini dalam pandangan Prof. Amin Abdullah mewajibkan ilmu keislaman untuk bertegur sapa dengan ilmu-ilmu “diluar” islam seperti sains, social sciences dan humanities. Dengan membina hubungan yang harmonis dan sinergis ini, 3IK diyakini bisa menjawab sederet problem sosial kekinian seperti Globalization, Migration, Scientific & technological revolutions, Space exploration, Archaeological discoveries, Evolution and genetics, Public education and literacy, Increased understanding of the dignity of human person, Greater interfaith interaction, The emergence of nation-states dan Gender equality.

Ada tiga ranah 3IK yang bisa dilakukan yaitu filosofis, materi, metodologi dan strategi. Menurut Prof. Amin Abdullah, 3IK pada ranah filosofis adalah berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya. Sedangkan 3IK pada ranah materi adalah suatu proses bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai kebenaran universal umumnya dan keislaman khususnya ke dalam pengajaran matakuliah umum, dan sebaliknya, ilmu-ilmu umum ke dalam kajian-kajian keagamaan dan keislaman. Adapun 3IK pada ranah ilmu ada tiga model, yaitu Model Pengintegrasian ke dalam Paket Kurikulum; Model Penamaan Matakuliah yang menunjukkan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keislaman; Model Pengintegrasian ke dalam tema-tema matakuliah. Untuk 3IK pada ranah metodologi Prof. Amin Abdullah, memberikan catatan ketika sebuah disiplin ilmu dintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, maka secara metodologis harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Pada ranah terakhir, strategi Prof. Amin Abdullah menekankan bahwa pembelajaran dengan model active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi suatu keharusan.

Mencermati sejarah lahirnya 3IK dari kegelisahan intelektual seorang Prof. Amin Abdullah melihat realitas sosial keagamaan yang berlangsung di masyarakat dan dilontarkan bersamaan dengan proses transformasi UIN dari IAIN menjadi wajar bila menimbulkan kontroversi dan multitafsir. Baik dari perspektif teoritis keilmuan ataupun dalam perspektif praksis-politis. Perdebatan yang berlangsung hingga saat inipun tetap berporos pada dua arus utama pemaknaan tersebut.

Dalam perspektif keilmuan, rumusan 3IK sebagai sebuah paradigma keilmuan hasil dari “integrasi” berbagai jenis disiplin keilmuan (barat- timur, islam-non islam, akhirat-dunia, tradisional-modern) adalah suatu logika yang hingga saat ini sulit dipahami oleh sementara kalangan, kalau “integrasi” yang dimaksud adalah pada wilayah epistemologi dari keilmuan masing-masing. Hal tersebut ibarat A + B = C. Bagaimana mungkin menghasilkan C? Bukankah lebih rasional bila A + B = AB? Semisal Fikih + Kimiawi = Fikih-Kimia atau Kimia-Fikih. Kalau tidak demikian maka yang terjadi adalah 3IK ini sebenarnya tiada lain adalah melanjutkan proyek islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) yang dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi yang sudah dianggap gagal itu.

Bila dicermati dari kelima ranah 3IK seperti dijelaskan oleh Prof. Amin Abdullah di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan integrasi bukanlah pada epistemologi tapi lebih pada wilayah aksiologinya. Namun demikian bila difahami bahwa ontologi-epistemologi-aksiologi adalah satu kesatuan bangunan keilmuan yang tidak bisa dipisah dan terpisah, pemahaman mengenai 3IK dalam arti integrasi antara dua entitas menjadi satu entitas baru semakin sulit ditangkap maksudnya. Dengan demikian maka yang paling mudah difahami dari maksud 3IK ini adalah pendekatan interdisipliner. Apabila tidak mau disebut sebagai istilah lain dari pendekatan interdisipliner dan juga menyangkal sebagai penerus islamisasi ilmu pengetahuan dengan kemasan baru, maka seperti apa yang disinyalir oleh Machasin dari awal bahwa 3IK sebenarnya tiada lain dari sekedar branding bagi proyek transformasi IAIN ke UIN saja.


Referensi:
Anonim.2012.http://shofiyullah.wordpress.com/2012/07/19/integrasi-interkoneksi-sebuah-catatan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar