Minggu, 25 November 2012

INTEGRASI ILMU DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN


Diskursus seputar upaya integrasi ilmu belakangan ini banyak dilakukan seiring dengan keinginan sebagian besar umat Islam untuk bangkit mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang kehidupan. Dikotomi ilmu; agama dan umum, dunia dan akhirat, dianggap sebagai pangkal penyebabnya. Sejatinya, dikotomi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam bukanlah hal baru. Dalam karya-karya klasik Islam telah dikenal dikotomi ilmu, seperti yang dilakukan al-Ghazali (1111 M) dengan membagi ilmu kepada ilmu syar’iyyah dan ghayr syar’iyyah, atau Ibnu Khaldun (w. 1406 M) yang membaginya dengan istilah al-‘ulËm al-naqliyyah dan al-‘ulËm al-‘aqliyyah. Dikotomi ini masih dapat ditolerir mengingat para ulama dan ilmuwan saat itu tetap mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing, sehingga tidak jarang ada ulama yang menguasai dua bidang keilmuan itu sama baiknya. Sekadar menyebut contoh; Jabir Ibnu Hayyan (161 H/ 778 M), Al-Khawarizmi (235 H/ 850 M), Al-Kindi (252 H/878 M), Abu Bakar al-Razi (320 H/ 925 M), Ibnu al-Haitsam (430 H), Ibnu Sina (438 H), Al-Bairuni (440 H/ 1048 M), Ibnu Nafis (678 H/1296 M) dan Ibnu Khaldun (808 H/ 1406 M). Barat, seperti diakui banyak pihak, sangat berhutang budi kepada mereka dalam soal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai di berbagai bidang saat ini.

Tetapi belakangan, seiring dengan masuknya sistem pendidikan sekuler ke dunia Islam melalui imperialisme, dikotomi ilmu tersebut menimbulkan persoalan baru dengan dampak yang begitu dahsyat, yaitu dominasi ilmu-ilmu modern (baca sains) atas ilmu-ilmu agama, bahkan terkesan ada pengingkaran atau perlakuan rendah terhadap ilmu-ilmu agama. Ironisnya, dikotomi model ini melembaga dalam sistem pendidikan di banyak negara Muslim yang diperkenalkan dalam bentuk lembaga pendidikan agama yang biasanya didukung sebagian besar masyarakat dan sekolah umum yang banyak didukung oleh pemerintah.

Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut lama, sebab selain akan semakin menambah keterpurukan kondisi umat Islam, juga akan menimbulkan problem teologis. Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber pokok ajaran Islam, memerintahkan umat Islam untuk menguasai ilmu agar dapat beragama dan menjalankan misi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dengan baik. Hal itu sangat memungkinkan, karena alam yang menjadi obyek sains, dan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadis) yang menjadi obyek ilmu agama, keduanya bersumber dari Allah swt. Upaya integrasi keduanya dapat menjadi tawaran solutif bagi kegagalan sains sekuler dalam memaknai peran manusia di alam raya. Semangat positivisme dan sekularisme yang mendasari sains modern telah mencabut manusia dari akar-akar spiritualitas. Akibatnya, mencuatlah konsep sains dan manusia yang terbagi-bagi (atomized).

Semangat integrasi dapat kita temukan dengan menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang obyek, sumber dan tujuan ilmu pengetahuan, tentunya sesuai dengan pemahaman penulis. Selain itu dalam Al-Qur’an kita juga dapat menemukan prinsip-prinsip nilai yang memungkinkan, bahkan mengharuskan, upaya integrasi tersebut. Inilah yang akan penulis lakukan dalam paparan dan tulisan sederhana ini.

Objek dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
Apresiasi Al-Qur’an terhadap ilmu tidak hanya tergambar dalam penyebutan kata al-‘ilm dan derivasinya yang mencapai 854 kali, tetapi terdapat sekian ungkapan yang bermuara pada kesamaan makna seperti al-‘aql, al-fikr, al-naÐr, al-baÎar, al-tadabbur, al-i’tibÉr dan al-dhikr. Kendati Al-Qur’an bukan buku ilmiah, tetapi tidak satu ayat pun di dalamnya yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan terdapat hampir 750 ayat yang bersinggungan, secara langsung atau tidak, dengan berbagai bidang keilmuan seperti kosmologi, kedokteran, geologi dan sebagainya.

Kata al-‘ilm dan derivasinya, menurut pakar Al-Qur’an Raghib al-Ashfahani, bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu. Padanannya adalah al-ma’rifah. Kendati keduanya bermakna pengetahuan tetapi para pakar bahasa Arab menggunakan kata al-ma’rifah sebagai ungkapan untuk pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran dan perenungan terhadap gejala atau fenomena sesuatu yang dicermati. Karena itu dalam bahasa Arab pengetahuan Tuhan akan makhluk-Nya digambarkan dengan ungkapan ‘alima, bukan ’arafa. Sebaliknya, pengetahuan manusia akan Tuhannya diungkapkan dengan kata ‘arafa karena diperoleh melalui perenungan terhadap tanda-tanda kekuasaan-Nya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar