Minggu, 25 November 2012

MEMADUKAN ISLAM DAN SAINS

1. Pendekatan “Ilmuisasi Islam” oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo (Alm)
Perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Al-Quran (menjadikan al-Quran sebagai suatu paradigma).

Latar Belakang Pemikiran Kuntowijoyo
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap  pola pikir masyarakat yang  masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang  hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting  peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk  itu dia melakukan  analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat  perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial  melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
   
Metode Pengilmuan Islam
Uraian-uraian  tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kuntowijoyo lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan  mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini,  dari al-Qur’an dapat diharapkan  suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami  realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kuntowijoyo menjelaskan:
Paradigma al-Qur’an berarti  suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Adapun Islam, yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah al-Qur’an. Sehingga bisa dibilang paradigma Islam atau paradigma al-Quran. Maksudnya adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan seseorang memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.
Menurut Kuntowijoyo salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai  paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kuntowijoyo diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
   1.      Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
   2.      Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya  reorientasi  berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
   3.      Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara  dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
  4.      Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
   5.      Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi  formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum  tentang kecaman terhadap sirkulasi  kekayaan yang hanya berputar  pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan  ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang.  Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik  untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat  menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agama yang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sosisal.

Menurut Kuntowijoyo, jika dalam bagian konseptual kita dikenalkan dengan pelbagai ideal-type tentang konsep-konsep, maka dalam bagian yang berisi kisah dan amtsal kita diajak untuk mengenali arche-type tentang kondisi-kondisi universal. Maka terhadap ideal-type al-Qur’an itu digunakanlah pendekatan sintetik. Sementara untuk arche-type al-Qur’an, maka digunakanlah pendekatan analitik. Melalui pendekatan sintetik, menurut Kuntowijoyo, kita melakukan subjektivikasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan dalam rangka mengembangkan perspektif etik dan moral individual, sementara analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan menghasilkan konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk teoritis al-Qur’an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur’anic theory building, yaitu perumusan teori al-Qur’an. Dan dari situlah muncul paradigma al-Qur’an, atau yang lebih umum lagi, paradigma Islam.
Untuk melakukan teoritisasi atas al-Qur’an, Kuntowijoyo menggunakan metode yang disebutnya dengan strukturalisme transendental. Ini dia lakukan agar konsep-konsep al-Qur’an (idelal-type) dan kisah-kisah sejarah dan juga amtsal (arche-type) dapat diejawantahkan dalam suatu sistem pengetahuan Islam.

Metode Pengilmuan Islam.
Untuk itu dalam rangka pengilmuan Islam, Kuntowijoyo menawarkan dua metode, pertama adalah integralisasi, dan yang kedua adalah objektivikasi. Maksud integralisasi adalah penyatuan ilmu-ilmu yang terlahir dari akal budi manusia dengan al-Qur’an atau wahyu. Sementara yang dimaksud dengan objektivikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat bagi semua orang.
Dalam upaya integralisasi, perlu adanya pembalikan. Sumber pertama pengetahuan dan kebenaran haruslah agama, kemudian bergerak menjadi teoantroposentrisme, dediferensiasi, dan ilmu integralistik. Penjelasannya adalah, pertama, sumber pengetahuan dan kebenaran adalah dari agama, dalam hal ini adalah wahyu Tuhan, yaitu al-Qur’an. Kemudian, di dalam teoantroposentrisme, kebenaran agama digabungkan dengan kebenaran yang bersumber dari akal budi manusia. Sehingga dalam praktiknya, terjadi dediferensiasi, yaitu menyatunya agama dalam setiap aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi, hukum, ataupun budaya. Selanjutnya dikenallah apa yang dinamakan dengan ilmu integralistik, ilmu yang bukan sekedar menggabungkan, tetapi juga menyatukan antara wahyu dan hasil akal budi manusia.
Kemudian objektivikasi. Ia adalah suatu tindakan yang didasarkan oleh nilai-nilai agama, tetapi disublimasikan dalam suatu tindakan objektif, sehingga diterima semua orang. Tujuannya adalah untuk semua orang, melintasi batas-batas agama, budaya, suku, dan lain-lain. Dalam istilah Kuntowijoyo, objektivikasi adalah penterjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif.

2. Pendekatan “Pohon Ilmu” oleh Prof. Dr. Imam Suprayogo (Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)
Gagasan:
Agama sebagai dasar pengembangan sains.
Sains dipandang merupakan bagian dari kajian keagamaan Islam.

Sekilas Pandang tentang Pemikiran Prof. Dr. Imam Suprayogo
Agar wilayah kajian Islam  yang luas itu  bisa ditangkap  secara mudah, sehingga  gambaran dikotomik atau pemisahan antara ilmu agama dan umum, sedikit demi sedikit terkurangi maka penjelasan itu saya tempuh dengan menggunakan  sebuah metafora   berupa pohon. Akhirnya, banyak orang mengenal bahwa UIN Maliki Malang  memiliki  pohon ilmu. Lewat metafora tersebut, ternyata  berhasil memberikan penjelasan tentang ilmu dalam perspektif Islam,  bahkan kepada masyarakat awam sekalipun. Mereka menjadi tahu, termasuk terkait  tentang bagaimana sebenarnya memahami ilmu yang mencarinya adalah merupakan fardhu ain dan fardhu  kifayah. 
Dalam metafora tersebut,  yang sebenarnya gambaran itu tepat dilihat dari  persepektif kurikulum, bagian-bagian pohon tersebut digunakan untuk menjelaskan mana bagian ilmu alat, bagian pokok atau sumber ajaran Islam yang harus dipelajari oleh semua mahasiswa, dan pengembangan ilmu lainnya atau juga ilmu-ilmu modern atau disebut ilmu umum. Bagian akar dari pohon itu, digunakan untuk memberikan gambaran terhadap ilmu yang fungsinya sebagai alat, yaitu bahasa, filsafat, ilmu alam,  dan ilmu sosial. Karena sedemikian pentingnya, maka ilmu alat, seperti bahasa Arab  dan Inggris, harus dikuasai benar oleh semua mahasiswa.
Selanjutnya batang pohon digunakan untuk menggambarkan posisi al Qurán, hadits, sirah nabawiyah, tamaddun Islam.  Dahan, ranting dan daun pohon digunakan untuk menggambarkan ilmu umum yang harus dipilih dan dikaji oleh mahasiswa sebagaimana pilihannya masing-masing. Sedangkan, tanah di mana pohon itu tumbuh dan berkembang, digunakan untuk menggambarkan tentang  betapa pentingnya pembiasaan, kultur, atau budaya, yang harus ditumbuh-kembangkan secara terus menerus.
Metafora berupa pohon tersebut, fungsinya  sebenarnya hanya  sebagai alat peraga, untuk mempermudah memahami  kaitan antara berbagai jenis  ilmu pengetahuan yang harus dipelajari oleh semua  mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi Islam. Namun  rupanya, oleh sementara pimpinan perguruan tinggi agama Islam lainnya metafora berupa pohonh itu dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari itu. Kemudian mereka, membuat dalam bentuk lainnya, seperti di UIN Yogyakarta,  Prof. Amin Abdullah,   membuat  gambar jaring laba-laba, UIN Sunan  Gunung Jati Bandung dengan gambar roda,  dan lain-lain. Smua itu semangatnya sama, yaitu ingin menjelaskan keterkaitan antara ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. 

3. Pendekatan “Integrasi-Interkoneksi” oleh Prof. Dr. Amin Abdullah
Mempertemukan antara ilmu-ilmu agama islam (hadlarah al-nash) dan ilmu-ilmu umum (hadlarah al-’ilm) dengan filsafat (hadlarah al-falsafah)

Keilmuan di IAIN (sekarang UIN) dahulu lebih menekankan pada kajian secara dikotomis-atomistik. Namun setelah bergeser menjadi UIN paradigma keilmuan berubah yang dahulu bersifat dikotomik-atomistik menjadi integrasi-interkoneksi. Mengkaji pemikiran M. Amin Abdullah lebih kental dengan kajian paradigmatis-filosofisnya. Istilah integrasi diartikan sebagai pengkajian suatu bidang keilmuan dengan melihat, menyapa, dan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya. Sedangkan interkoneksi melihat kesaling-terkaitan antara berbagai disiplin keilmuan. Artinya dalam mengkaji ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fikih, kalam, ulumul qur’an dan hadist yang lebih mengedapankan teks (bayani) juga mengkaji dan mengkaitkan disiplin ilmu-ilmu lainnya seperti sosiologi, antropologi, histrori, psikologi yang lebih menekankan pola pikir empiris. Beserta pendekatan berikutnya adalah pendekatan irfani yang lebih mementingkan gnosis, dzauq atau hati. Epistemologi bayani, burhani, dan irfani merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Abid al-Jabiry. Dalam mempelajari ilmu kalam misalnya hendaknya menurut Amin harus bersentuhan dengan problem ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan universal. Dalam mengkaji teks-teks agama juga dapat menggunakan pendekatan interdisipliner. Sebagai contoh dalam mengkaji al-Qur’an tidak hanya menggunakan pendekatan tekstual, akan tetapi kontekstual yaitu melalui pendekatan sosiologis & historis. Bagaimana asbab al-nuzul ayat tersebut; Bagaimana latar belakang atau konteks sosio-historisnya; dan Bagaimana pula kontekstualisasinya (pendekatan hermeneutik).
Dalam integrasi-interkoneksi tentunya tidak bisa dilepas dari dialektika variabel-variabel keilmuan, baik ilmu umum dan ilmu agama. Brand yang diusung UIN untuk menyebut dialektika ini adalah hadlarah al-nash, hadlarah al-‘ilm, dan hadlarah al-falsafah.(Lihat M.Amin Abdullah, Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-interkoneksi) Hadlarah al-nash lebih mininjau kepada teks-teks keagamaan sebagai perwujudan identitas keislaman. Sementara hadlarah al-‘ilm adalah professional dalam bidang keilmuan dan hadlarah al-falsafah adalah dialektika antara hadlarah al-nash dan hadlarah al-‘ilm sehingga memberikan kontribusi positif yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Bila dikaitkan dengan PAI maka, sudah saatnya para calon pendidik selain memiliki wawasan pengetahuan agama yang dalam sebagai basisnya, juga mampu menguasai ilmu-ilmu sosial-humaniora sebagai tantangan sekaligus problem solving dalam kehidupan masyarakat modern. Para calon pendidik seharusnya tidak hanya mampu menguasai situasi kelas atau sekolah, akan tetapi juga diharapkan mampu mengatasi problematika aktual di masyarakat seperti gender, HAM, civil society, korupsi, kolusi, nepotisme, pendidikan karakter, pendidikan multikultural, pluralism. Para pendidik hendaknya menjadi problem solver baik di lingkungan sekolah dan sosial-kemasyarakatan.
Perubahan paradigma dari dikotomik-atomistik ke integratif-interkonektif juga telah berhasil beliau lakukan. Ia mampu menyusun peraga dengan menggunakan karya binatang kecil yang disebut laba-laba (jaring laba-laba). Selain itu Pak. Amin juga berhasil menjalin kerja sama dengan IDB. Pembangunan gedung-gedung kampus yang megah dan mewah berhasil dilakukan. Pada awalnya bangunan kampus yang terlihat kuno diubah menjadi lebih modern. Ia juga telah berjasa dengan membuka fakultas baru (Ilmu Sosial-Humaniora dan Sains & teknologi) merekrut dosen dan tenaga laboran, maupun administrasi, menyusun manajemen hingga berstatus BLU, penjaminan mutu, dan lain-lain.

4. Pendekatan oleh Beberapa Tokoh
a.       Pendekatan “Sains Islam” oleh Sayyed Hossein Nasr , Ziauddin Sardar , Maurice Bucaille
Gagasan:
Perlunya etika Islam untuk mengawal Sains
Perlunya landasan epistimologi Islami untuk suatu sistem sains
b.      Pendekatan “Penafsiran (Sentuhan) Islami” oleh Mehdi Ghulsani, Bruno Guiderdoni
Gagasan:
Tidak perlu membangun Sains Islam, cukup memberikan penafsiran islami terhadap sains yang ada saat ini.
c.       Pendekatan “Islamisasi Ilmu Ismail Raji’ ” oleh Al Faruqi, Naquib Al-Attas, Harun Yahya
Gagasan:
Hendaknya ada hubungan timbal balik antara aspek realitas dan aspek kewahyuan.
d.      Pendekatan “Islamisasi Penuntut Ilmu” oleh Fazlur Rahman
Gagasan:
Penuntut ilmu harus mengaitkan dirinya dengan nilai-nilai Islam.
e.       Pendekatan Sains dan Teknologi Berbasis Wahyu oleh Agus Purwanto, D.Sc. (Dosen ITS)
Gagasan:
Pengembangan Sains dan Teknologi yang ada dalam Al-qur’an dan Al-sunnah (ontologi, epistemologi, dan aksiologi)

5. Implementasi “Islamisasi Ilmu” menurut Ismail Raji’ Al-Faruqi




Sumber:

INTEGRASI ILMU DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN


Diskursus seputar upaya integrasi ilmu belakangan ini banyak dilakukan seiring dengan keinginan sebagian besar umat Islam untuk bangkit mengejar ketertinggalannya di berbagai bidang kehidupan. Dikotomi ilmu; agama dan umum, dunia dan akhirat, dianggap sebagai pangkal penyebabnya. Sejatinya, dikotomi ilmu dalam tradisi keilmuan Islam bukanlah hal baru. Dalam karya-karya klasik Islam telah dikenal dikotomi ilmu, seperti yang dilakukan al-Ghazali (1111 M) dengan membagi ilmu kepada ilmu syar’iyyah dan ghayr syar’iyyah, atau Ibnu Khaldun (w. 1406 M) yang membaginya dengan istilah al-‘ulËm al-naqliyyah dan al-‘ulËm al-‘aqliyyah. Dikotomi ini masih dapat ditolerir mengingat para ulama dan ilmuwan saat itu tetap mengakui validitas dan status ilmiah masing-masing, sehingga tidak jarang ada ulama yang menguasai dua bidang keilmuan itu sama baiknya. Sekadar menyebut contoh; Jabir Ibnu Hayyan (161 H/ 778 M), Al-Khawarizmi (235 H/ 850 M), Al-Kindi (252 H/878 M), Abu Bakar al-Razi (320 H/ 925 M), Ibnu al-Haitsam (430 H), Ibnu Sina (438 H), Al-Bairuni (440 H/ 1048 M), Ibnu Nafis (678 H/1296 M) dan Ibnu Khaldun (808 H/ 1406 M). Barat, seperti diakui banyak pihak, sangat berhutang budi kepada mereka dalam soal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai di berbagai bidang saat ini.

Tetapi belakangan, seiring dengan masuknya sistem pendidikan sekuler ke dunia Islam melalui imperialisme, dikotomi ilmu tersebut menimbulkan persoalan baru dengan dampak yang begitu dahsyat, yaitu dominasi ilmu-ilmu modern (baca sains) atas ilmu-ilmu agama, bahkan terkesan ada pengingkaran atau perlakuan rendah terhadap ilmu-ilmu agama. Ironisnya, dikotomi model ini melembaga dalam sistem pendidikan di banyak negara Muslim yang diperkenalkan dalam bentuk lembaga pendidikan agama yang biasanya didukung sebagian besar masyarakat dan sekolah umum yang banyak didukung oleh pemerintah.

Kondisi semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut lama, sebab selain akan semakin menambah keterpurukan kondisi umat Islam, juga akan menimbulkan problem teologis. Al-Qur’an dan hadis, sebagai sumber pokok ajaran Islam, memerintahkan umat Islam untuk menguasai ilmu agar dapat beragama dan menjalankan misi sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dengan baik. Hal itu sangat memungkinkan, karena alam yang menjadi obyek sains, dan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadis) yang menjadi obyek ilmu agama, keduanya bersumber dari Allah swt. Upaya integrasi keduanya dapat menjadi tawaran solutif bagi kegagalan sains sekuler dalam memaknai peran manusia di alam raya. Semangat positivisme dan sekularisme yang mendasari sains modern telah mencabut manusia dari akar-akar spiritualitas. Akibatnya, mencuatlah konsep sains dan manusia yang terbagi-bagi (atomized).

Semangat integrasi dapat kita temukan dengan menelusuri pandangan Al-Qur’an tentang obyek, sumber dan tujuan ilmu pengetahuan, tentunya sesuai dengan pemahaman penulis. Selain itu dalam Al-Qur’an kita juga dapat menemukan prinsip-prinsip nilai yang memungkinkan, bahkan mengharuskan, upaya integrasi tersebut. Inilah yang akan penulis lakukan dalam paparan dan tulisan sederhana ini.

Objek dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
Apresiasi Al-Qur’an terhadap ilmu tidak hanya tergambar dalam penyebutan kata al-‘ilm dan derivasinya yang mencapai 854 kali, tetapi terdapat sekian ungkapan yang bermuara pada kesamaan makna seperti al-‘aql, al-fikr, al-naÐr, al-baÎar, al-tadabbur, al-i’tibÉr dan al-dhikr. Kendati Al-Qur’an bukan buku ilmiah, tetapi tidak satu ayat pun di dalamnya yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan terdapat hampir 750 ayat yang bersinggungan, secara langsung atau tidak, dengan berbagai bidang keilmuan seperti kosmologi, kedokteran, geologi dan sebagainya.

Kata al-‘ilm dan derivasinya, menurut pakar Al-Qur’an Raghib al-Ashfahani, bermakna pengetahuan akan hakikat sesuatu. Padanannya adalah al-ma’rifah. Kendati keduanya bermakna pengetahuan tetapi para pakar bahasa Arab menggunakan kata al-ma’rifah sebagai ungkapan untuk pengetahuan yang diperoleh melalui proses pemikiran dan perenungan terhadap gejala atau fenomena sesuatu yang dicermati. Karena itu dalam bahasa Arab pengetahuan Tuhan akan makhluk-Nya digambarkan dengan ungkapan ‘alima, bukan ’arafa. Sebaliknya, pengetahuan manusia akan Tuhannya diungkapkan dengan kata ‘arafa karena diperoleh melalui perenungan terhadap tanda-tanda kekuasaan-Nya.




ALQURAN DAN SAINS: PENGHAMPARAN BUMI



Oleh: DR Abdul Basith Jamal & DR Daliya Shadiq Jamal

Dalam bahasa arab, kata penghamparan disebut dengan ‘tamhid’. Yang dimaksud dengannya adalah mempersiapkan sesuatu agar layak untuk digunakan dan dimanfaatkan, dengan diawali serangkaian persiapan-persiapan, mulai dari yang primer sampai yang skunder. Dan cara pengungkapan sesuatu dengan menggunakan kata ‘al-mihad’ berarti validitasnya yang sempurna sehingga siap untuk digunakan.

Kondisi bumi pun, yang pada akhirnya berbentuk hamparan, sebelumnya diawali dengan serangkaian peristiwa geologi dan fisiokimia tertentu, di mana bumi pada pertama kalinya dingin. Kemudian setelah kadar panasnya stabil, mulai membentuk hingga tercipta bentuk akhirnya yang lonjong seperti telur.

Setelah itu, terjadi proses rumit kimiawi hingga bentuk luar bumi layak untuk ditumbuhi tumbuh-tumbuhan, di mana permukaan bumi menyediakan semua unsur yang dibutuhkan tumbuh-tumbuhan itu untuk hidup dan berkembang, berbuah dan berbunga.

Hakikat ilmiah di atas, secara ringkas diceritakan oleh Al-Qur'an dalam kalimat yang singkat namun padat dalam surah An-Naba ayat 6, Allah SWT berfirman: "Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?”

Pada ungkapan ‘menjadikan’ yang terdapat pada ayat di atas, kita mendapatkan bahwa Allah SWT menggunakan kata ‘ja’ala’ yang mengisyaratkan bahwa bumi mengalami serangkaian proses hingga ia terhampar.

Sedangkan di ayat lain, kita mendapatkan penggunaan kata ‘khalaqa’ yang berarti penciptaan sesuatu sesuai bentuknya secara langsung. Tidakkah hal ini menunjukkan kemukjizatan Al-Qur'an dan kebenarannya?

PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP SAINS



Sains dalam perspektif al-Qur’an
  1. Kami yakin bahwa al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa saja yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Kami tidak memandangnya sebagai ensiklopedi sains, dan juga tidak meyakini kebenaran mencocokkan al-Qur’an dengan teori-teori sains yang berubah-ubah itu. Pada sisi lain, kita dapat menolak bahwa al-Qur’an mengandung rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam. Namun ini bukan untuk mengajarkan sains, tapi harus digunakan sebagai bantuan dalam menarik perhatian orang kepada keagungan Allah dan dengan begitu membawanya dekat kepada-Nya.
  2. Kami juga yakin bahwa kemajuan sains membuat pemahaman atas risalah-risalah Al-Qur’an tertentu lebih mudah, misalnya (QS 21:30) merujuk pada evolusi tata surya dan peranan air di dalam kehidupan, juga ayat (QS 51:49) yang memberitahukan pada kita tentang bukti adanya pasang-pasangan alam seluruh penciptaan. Sains modern membuat pemahaman ayat ini lebih mudah.
  3. Apabila kita mencocokkan al-Qur’an dengan suatu aliran filsafat atau sains suatu masa, maka kita akan mencapai titik dimana dalam periode dominasi positivisme, kita temukan ulama yang mencoba menggali filsafat ini dari al-Qur’an, dengan memandangnya sebagai basis kearifan al-Qur’an, dan tidak memperhatikan fakta bahwa pandangan ini tidak memberikan ruang bagi metafisika atau suatu wujud transenden.
  4. Kita dapat mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an bukan ensiklopedi sains, namun ada pesan penting di dalam ayat-ayat yang melibatkan fenomena, dan para ilmuwan muslim harus memusatkan perhatiaanya pada misi tersebut daripada melibatkan diri mereka pada aspek keajaiban al-Qur’an dalam bidang sains atau dalam kinsistensinya dengan sains kontemporer.
Pesan al-Qur’an bagi para ilmuwan
  1. Dalam ayat-ayat ini dianjurkan untuk mengkaji seluruh aspek alam dan menemukan misteri penciptaan (QS 45:4, 10:101, 29:20)
  2. Menurut al-Qur’an, kita harus memakai indera dan intelektual kita untuk memahami alam, dan ini akan mengantarkan kita keada apresiasi keagungan dan kekuasaan Allah.
  3. Ayat-ayat diatas menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini teratur dan bertujuan, dan dalam perbuatan allah tidak ada kesalahan apapun. (QS 25:2, 21:16, 67:3-4)
  4. Al-Qur’an menyuruh kita mengenali hukum-hukum alam (yaitu, pola-pola Allah di alam semesta) dan mengeksploitasinya bagi kesejahteraan manusia dengan tidak melampaui batas-batas syari’ah (QS 55:5-8)
  5. Dalam pandangan al-Qur’an’an, seluruh sains adalah perwujudan berbeda dari satu dunia yang diciptakan dan yang dikelola oleh satu Tuhan. Karena itu ilmu-ilmu tersebut harus menggiring kira kepada gambaran tunggal dunia.
Filsafat sains : sebuah pendekatan al-Qur’an
  1. Dalam visi al-Qur’an, fenomena alam merupakan tanda-tanda yang Maha Kuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda yang bisa membawa kita meraih pengetahuan tentang tuhan. (QS 30:21,22,24)
  2. Dalam perspektif al-Qur’an, memahami alam bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia mampu membantu kita memahami pencipta mahabijak dunia ini dan mendekatkan diri kepada-Nya.


Sumber :